Minggu, 26 Februari 2012

peritoneal Dialisa

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ginjal merupakan organ penting dalam tubuh dan berfungsi untuk membuang sampah metabolisme dan racun tubuh dalam bentuk urin / air seni, yang kemudian dikeluarkan dari tubuh. Ginjal-ginjal mempunyai kemampuan untuk memonitor jumlah cairan tubuh, konsentrasi-konsentrasi dari elektrolit-elektrolit seperti sodium dan potassium, dan keseimbangan asam-basa dari tubuh. Ketika ginjal mengalami gangguan dan tidak dapat menjalankanfungsinya maka kan mengakibatkan komplikasi yang sistemik. Maka diperlukan adanya pencucian ( dialisa ) untuk mengurangi komplikasi yang lebih lanjut.

C.    Tujuan
1.      Tujuan Umum
Mahasiswa mampu melakukan asuhan Keperawatan Medikal Bedah khususnya Sistem Perkemihan pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan
2.      Tujuan Khusus
a)      Mahasiswa mampu melakukan pengkajian asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan
b)      Mahasiswa mampu mengidentifikasi masalah keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan.
c)      Mahasiswa mampu memprioritaskan masalah keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan.
d)     Mahasiswa mampu melakukan intervensi keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan.
e)      Mahasiswa mampu melakukan implementasi keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem perkemihan.
f)       Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan pasien dengan gangguan sistem perkemihan.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


A. Pengertian Peritoneal Dialisis
Peritoneal dialisis suatu metode pencucian darah dengan mengunakan peritoneum (selaput yang melapisi perut dan pembungkus organ perut). Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil yang menembus dinding perut ke dalam rongga perut. Cairan harus dibiarkan selama waktu tertentu sehingga limbah metabolik dari aliran darah secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut, kemudian cairan dikeluarkan, dibuang, dan diganti dengan cairan yang baru.
Peritoneum berfungsi sebagai membran semipermiabel yang memungkinkan transfer sisa nitrogen/toksin dan cairan dari darah ke dalam cairan dialisat. Dialisis Peritoneal dipilih karena menggunakan teknik yang lebih sederhana dan memberikan perubahan fisiologis lebih bertahap daripada hemodialis

A.    Etiologi

http://2.bp.blogspot.com/-w3s2qn8GIz0/TZ74WvO4E7I/AAAAAAAAACk/gkZroQ3NoM0/s1600/Peritoneal_dialysis.gif





B.     Penatalaksanaan
Cairan dialysis 2 L dimasukkan dalam rongga peritoneum melalui catheter tunchoff, didiamkan untuk waktu tertentu (6 – 8 jam) dan peritoneum bekerja sebagai membrane semi permeable untuk mengambil sisa-sisa metabolisme dan kelebihan air dari darah.
Osmosis, difusi dan konveksi akan terjadi dalam rongga peritoneum. Setelah dwell time selesai  cairan akan dikeluarkan dari rongga peritoneum melalui catheter yang sama, proses ini berlangsung 3 – 4 kali dalam sehari selama 7 hari dalam seminggu.
Sebelum melakukan Dialisis peritoneal, perlu dibuat akses sebagai tempat keluar masuknya cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) dari dan ke dalam rongga perut (peritoneum). Akses ini berupa kateter yang “ditanam” di dalam rongga perut dengan pembedahan. Posisi kateter yaitu sedikit di bawah pusar.  Lokasi dimana sebagian kateter muncul dari dalam perut disebut “exit site”.
C.    Patofisiologi
Difusi
a. Membrane peritoneum menyaring solute dan air dari darah ke rongga peritoneum   
    dan sebaliknya melalui difusi.
b. Difusi adalah proses perpindahan solute dari daerah yang berkonsentrasi tinggi ke  
    daerah yang berkonsentrasi rendah, dimana proses ini berlangsung ketika cairan
    dialisat dimasukkan ke dalam rongga peritoneum.
                 c. Konsentrasi cairan CAPD lebih rendah dari plasma darah, karena cairan plasma   
                     banyak mengandung toksin uremik. Toksin uremik berpindah dari plasma ke cairan  
                     CAPD.
 Osmosis
a. Adalah perpindahan air melewati membrane semi permeable dari daerah solute   
   yang berkonsentrasi rendah (kadar air tinggi) ke daerah solute berkonsentrasi tinggi  
   (kadar air rendah). Osmosis dipengaruhi oleh tekanan osmotic dan hidrostatik antara  
   darah dan cairan dialisat.
b. Osmosis pada peritoneum terjadi karena glukosa pada cairan CAPD menyebabkan    
    tekanan osmotic cairan CAPD lebih tinggi (hipertonik) dibanding plasma, sehingga  
    air
c. Kandungan glucose yang lebih tinggi akan mengambil air lebih banyak. Cairan  
    melewati membrane lebih cepat dari pada solute. Untuk itu diperlukan dwell time  
    yang lebih panjang untuk menarik solute.
d. Untuk membantu mengeluarkan kelebihan air dalam darah, maka cairan dialisat  
    menyediakan beberapa jenis konsentrasi yang berbeda :
    Baxter       : 1,5%, 2,5%, 4,25%
    Frescenius : 1,3%, 2,3%, 4,25%

H. Faktor yang Mempengaruhi Proses Dialisis
a)Tekanan osmotik
b)      Konsentrasi zat terlarut antara cairan CAPD dengan plasma darah dalam pembuluh kapiler.
c)Pada saat cairan dialisat dimasukkan dalam peritoneum, air akan diultrafiltrasi plasma   ke dialisat, sehingga meningkatkan volume cairan intra peritoneal. Peningkatan volume  cairan intraperitoneal berbanding lurus dengan konsentrasi glukosa dari cairan dialisat.
d)     Kecepatan transport air dan zat terlarut dapat diestimasi secara periodic melalui PET test  (Peritoneal Equilibrum Test).
e)Standar konsentrasi elektrolit cairan CAPD:
1. Na       (132 meq /lt)
2.    Cl        ( 102 meq /lt)
3. Mg       (0,5 meq /lt)
4.    K         (0 meq /lt)
I.       Keuntungan Peritoneal Dialisis:
   1. Dapat dilakukan sendiri di rumah atau tempat kerja
   2. Pasien menjadi mandiri (independen), meningkatkan percaya diri
   3. Simpel, dapat dilatih dalam periode 1-2 minggu.
   4. Jadwal fleksibel, tidak tergantung penjadwalan rumah sakit sebagaimana HD
   5. Pembuangan cairan dan racun lebih stabil
   6. Diit dan intake cairan sedikit lebih bebas
   7. Cocok bagi pasien yang mengalami gangguan jantung
   8. Pemeliharaan residual renal function lebih baik pada 2-3 tahun pertama

J.      Kelemahan Peritoneal Dialisis :
    1. Resiko infeksi
    2. Peritonitis
    3. Exit site
    4. Tunnel
    5. BB naik karena glukosa, pada cairan CAPD diabsorbsi

K.    Penilaian Peritoneal Dialisis:
                       1. Penilaian bersifat individual
2. Adakah faktor kelainan yang menyebabkan CAPD lebih bermanfaat dibanding HD ?
3. Kesulitan akses vaskular, penyakit cardiovaskular yang berat
4. Jarak rumah dengan center HD, pekerjaan

L.     Kontra Indikasi Peritoneal Dialisis :
1. Hilangnya fungsi membran peritoneum
2. Operasi berulang pada abdomen, kolostomi,
3. Ukuran tubuh yang besar (kemungkinan dengan PD yang adekuat tidak tercapai)
4. Identifikasi problem yang potensial timbul sebelum CAPD dimulai
a. Apakah pasien perlu seorang asisten (keterbatasan fisik / mental)
b. Adakah hernia
c. Penglihatan kurang
5. Malnutrisi yang berat

M.   Tips Perawatan Chateter Dan Exit Site:Rawatanps perawattttttan kateter danExit Site:
1. Mandi setiap hari untuk menjaga kebersihan kulit, khususnya di sekitarexit site. Jangan     
    mandi berendam
1.      Ganti pakaian dalam maupun pakaian luar setiap hari
2.      Jangan gunakan bahan kimia, misalnya alkohol dan bahan yang mengandung klorida untuk  membersihkan exit site dan keteter
3.      Jangan gunakan krim, salep, atau bedak tabur di sekitar exit site
4.      Jaga posisi keteter krim agar tetap berada pada tempatnya (tidak tertarik, tertekuk, terputar,  atau tersangkut) dengan menempelkannya pada kulit dengan bantuan plester.
N.    Komplikasi Dilakukannya Peritoneum Dialisa
     1.Perdarahan di tempat pemasangan selang atau perdarahan di dalam perut
2. Perforasi organ dalam pada saat memasukkan selang
3. Kebocoran cairan di sekitar selang atau ke dalam dinding perut
4. Penyumbatan aliran cairan oleh bekuan darah
5. Infeksi, baik pada peritoneum maupun di kulit tempat selang terpasang (menyebabkan terbentuknya abses). Infeksi biasanya terjadi karena prosedur dialisa yang kurang steril. Untuk mengatasi infeksi diberikan antibiotik.
6. Hipoalbuminemia
7. Sklerosis peritonealis (pembentukan jaringan parut di peritoneum), yang     
   mengakibatkan penyumbatan parsial usus halus
8. Hipotiroidisme
9. Hiperglikemia, sering terjadi pada penderita kencing manis
10. Hernia perut dan selangkangan
11. Sembelit.
























Sabtu, 25 Februari 2012

phymosis





BAB I
PEBDAHULUAN


1.1      Latar Belakang
Phimosis adalah suatu keadaan dimana prepusium tidak bisa ditarik ke belakang, bisa dikarenakan keadaan sejak lahir atau karena patologi. Pada usia bayi glan penis dan prepusium terjadi adesi sehingga lengket jika terdapat luka pada bagian ini maka akan terjadi perlengketan dan terjadi Phimosis biasanya pada bayi itu adalah hal yang wajar karena keadaan tersebut akan kembali seperti normal dengan bertambahnya umur dan produksi hormon.
Beberapa penelitian mengatakan kejadian Phimosis saat lahir hanya 4% bayi yang preputiumnya sudah bisa ditarik mundur sepenuhnya sehingga kepala penis terlihat utuh. Selanjutnya secara perlahan terjadi desquamasi sehingga perlekatan itu berkurang. Sampai umur 1 tahun, masih 50% yang belum bisa ditarik penuh. Berturut-turut 30% pada usia 2 tahun, 10% pada usia 4-5 tahun, 5% pada umur 10 tahun, dan masih ada 1% yang bertahan hingga umur 16-17 tahun. Dari kelompok terakhir ini ada sebagian kecil yang bertahan secara persisten sampai dewasa bila tidak ditangani.
Bila Phimosis menghambat kelancaran berkemih seperti pada ballooning maka sisa-sisa urin mudah terjebak pada bagian dalam preputium dan lembah tersebut kandungan glukosa pada urine menjadi lading subur bagi pertumbuhan bakteri, maka berakibat terjadi infeksi saluran kemih (UTI).
Berdasarkan data tahun 1980-an dilaporkan bahwa anak yang tidak disirkumsisi memiliki resiko menderita UTI 10-20 kali lebih tinggi. Tahun 1993, dituliskan review bahwa resiko terjadi sebesar 12 kali lipat. Tahun 1999 dalam salah satu bagian dari pernyataan AAP tentang sirkumsisi disebutkan bahwa dari 100 anak pada usia 1 tahun. 7-14 anak yang tidak sirkumsisi menderita sedang hanya 1-2 anak pada kelompok yang disirkumsisi. Dua laporkan jurnal tahun 2001 dan 2005 mendukung bahwa sirkumsisi dibawah resiko UTI.
         




1.2      Rumusan Masalah
Dari uraian diatas dapat ditarik Rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Pengertian Phimosis ?
2.      Etiologi dan patologi Phimosis ?
3.      Manifestasi klinis dan komplikasi Phimosis ?
4.      Penatalaksanaan dan perawatan Phimosis ?

1.3      Tujuan
1.3.1        Tujuan Khusus
Untuk memenuhi tugas Keperawatan Medical Bedah III dan semoga kami sebagai penyusun dapat mengambil manfaat serta dapat memperluas wawasan pada pasien dengan diagnosa medis Phimosis pada khususnya.
1.3.2        Tujuan Umum
·         Untuk menambah pengetahuan tentang penyakit Phimosis
·         Untuk mempermudah dalam pembuatan asuhan keperawatan pada pasien Phimosis.  

1.4      Manfaat
1.4.1        Bagi Penyusun
·         Dapat belajar dalam penyusunan keperawatan Phimosis
·         Dapat menambah ilmu dalam pembentukan makalah di bidang kesehatan.
1.4.2       Bagi Pendidikan
Sebagai sumbangsih dalam makalah asuhan keperawatan di bidang kesehatan urologi.
1.4.3        Bagi Pembaca
Sebagai sedikit pengetahuan tentang asuhan keperawatan bidang kesehatan urologi.






BAB II
PEMBAHASAN


2.1      Definisi
Phimosis adalah suatu keadaan dimana prepusium penis yang tidak dapat diretaksi keproximal sampai ke korona glandis.

2.2      Etiology
a.       Konginetal (fimosis fisiologis)
Fimosis kongenital (fimosis fisiologis) timbul sejak lahir sebenarnya merupakan kondisi normal pada anak-anak, bahkan sampai masa remaja. Kulit preputium selalu melekat erat pada glans penis dan tidak dapat ditarik ke belakang pada saat lahir, namun seiring bertambahnya usia serta diproduksinya hormon dan faktor pertumbuhan terjadi proses keratinisasi lapisan epitel dan deskuamasi antara glans penis dan lapis glan dalam preputium sehingga akhirnya kulit preputium terpisah dari glan penis. Suatu penelitian mendapatkan bahwa hanya 4% bayi seluruh kulit preputiumnya dapat ditarik ke belakang penis pada saat lahir, namun mencapai 90% pada saat usia 3 tahun dan hanya 1% laki-laki berusia 17 tahun yang masih mengalami fimosis kongenital. Walaupun demikian, penelitian lain mendapatkan hanya 20% dan 200 anak laki-laki berusia
5-13 tahun yang seluruh kulit preputiumnya dapat ditarik ke belakang penis.

b.      Fimosis didapat (fimosis patologik, fimosis yang sebenarnya, true phimosis) timbul kemudian setelah. Hal ini berkaitan dengan kebersihan hygiene) alat kelamin yang buruk, peradangan kronik glans penis dan kulit preputium (balanoposthitis kronik), atau penarikan berlebihan kulit preputium (forceful retraction) pada timosis kongenital yang akan menyebabkan pembentukkan jaringan ikat (fibrosis) dekat bagian kulit preputium yang membuka.





2.3      Patofisiologi
            Fimosis dialami oleh sebagian besar bayi baru lahir karena terdapat adesi alamiah antara preputium dengan glans penis. Hingga usia 3-4 tahun penis tumbuh dan berkembang dan debris yang dihasilkan oleh epitel preputium (smegma) mengumpul didalam preputium dan perlahan-lahan memisahkan preputium dari glans penis. Ereksi penis yang terjadi secara berkala membuat preputium terdilatasi perlahan-lahan sehingga preputium menjadi retraktil dan dapat ditarik ke proksimal.
Pathways :




2.4      Gejala Klinis
1.      prepusium tidak bisa ditarik ke belakang
2.      Balloning
3.      Sakit saat berkemih
4.      Sulit kencing
5.      Pancaran kencing sedikit

2.5      Komplikasi
Jika tidak segera ditangani bisa menyebabkan  :
1.       Infeksi gland penis
2.      Infeksi prepusium
3.       Infeksi prepusium & Infeksi gland penis
 
2.6      Penatalaksanaan
·         Tidak dianjurkan melakukan retraksi yang dipaksakan, karena dapat menimbulkan luka dan terbentuk sikatriks pada ujung prepusium sehingga akan terbentuk fimosis sekunder.
·         Fimosis disertai balanitis xerotica obliterans dapat diberikan salep dexamethasone 0,1% yang dioleskan 3/4 kali, dan diharapkan setelah 6 minggu pemberian prepusium dapat diretraksi spontan.
·         Fimosis dengan keluhan miksi, menggelembungnya ujung prepusium pada saat miksi atau infeksi postitis merupakan indikasi untuk dilakukan sirkumsisi, dimana pada fimosis disertai balanitis/postitis harus diberikan antibiotika terlebih dahulu.

2.7      Prinsip terapi dan manajemen keperawatan
1)       Perawatan Rutin
2)      Kebersihan penis
Penis harus dibasuh secara seksama dan bayi tidak boleh ditinggalkan berbaring dengan popok basah untuk waktu yang lama.    
3)      Phimosis dapat diterapi dengan membuat celah dorsal untuk mengurangi obstruksi terhadap aliran keluar.   
4)      Sirkumsisi
Pada pembedahan ini, kelebihan kutup diangkat. Digunakan jahitan catgut untuk mempertemukan kulit dengan mukosa dan mengikat pembuluh darah. 
5)      Perawatan Pra Bedah Rutin
6)      Perawatan Pasca Bedah
Pembedahan ini bukan tanpa komplikasi dan Observasi termasuk adanya perdarahan. Pembalut diangkat jika basah dengan urin dan lap panggul berguna untuk membersihkan penis dan mendorong terjadinya penyembuhan. Popok perlu sering diganti.
Komplikasi yang terjadi termasuk ulserasi meatus. Ini terjadi sebagai akibat amonia yang membakar epithelium glans. Untuk menimbulkan nyeri pada saat berkemih kadang-kadang adanya perkembangan perdarahan dan retensi urin. Ulserasi meatus dapat menimbulkan stenosis meatus. Hal ini dapat diterapi dengan meatotomi dan dilatasi.
7)      Bimbingan bagi orang tua.
Instruksi yang jelas harus diberikan pada  orang tua jika bayi atau anak siap untuk pulang kerumah. Ini termasuk hygiene dari daerah dan pengenalan setiap komplikasi. Mereka juga harus diberikan pedoman untuk pencegahan dermatitis amonia dan jika hal ini terjadi bagaimana untuk mengobatinya.

2.8      Asuhan Keperawatan Phimosis
Asuhan Keperawatan pasien dengan Phimosis melalui pendekatan proses Keperawatan yang terdiri dari pengkajian Keperawatan, perencanaan Keperawatan, penatalaksanaan dan evaluasi keperawatan.


2.9      Pengkajian Keperawatan
Pengumpulan data
Data dasar yang berhubungan dengan Phimosis adalah sebagai berikut :
o   Nyeri saat berkemih
o   Balloning
o   Retensi Urine

2.10   Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan disusun menurut prioritas masalah adalah sebagai berikut :
1.       Gangguan rasa nyaman (Nyeri) b.d penekanan pada saat berkemih.
2.        Gangguan Eliminasi urine b.d retensi urine.
3.      Resiko infeksi saluran kemih b.d penumukan smegma di ujung penis.
    
2.11   Perencanaan Keperawatan
1.      Gangguan rasa nyaman (nyeri) sampai penekanan pada saat berkemih
Tujuan           :
Klien mengatakan nyeri berkurang atau tidak merasa nyeri
Intervensi      :
-       Kaji skala nyeri
R/ untuk mengetahui tingkat nyeri pasien sebagai pedoman untuk tindakan yang harus diberikan.     
-       Ajarkan teknik relaksasi
R/  merelaksasikan otot-otot sehingga suplai darah ke jaringan terpenuhi. 
-       Kolaborasi dengan tim medis tentang pemberian obat
R/ obat (anti plasmadik) untuk merelaksasikan otot-otot polos
2.      Gangguan eliminasi urine sampai retensi urine
Tujuan           :
Klien mengatakan tidak ada hambatan aliran urine
Intervensi      :
-       Kaji haluan urine
R/ retensi urine dapat terjadi karena adanya sumbatan 
-       Perhatikan waktu
R/ untuk mengetahui output pasien
-       Dorong klien untuk berkemih bila terasa ada dorongan tetapi tidak lebih dari 30 menit
R/ penahanan urine selama > 30 menit bias merusak sel kemih
3.      Resiko infeksi saluran kemih sampai penumpukan urine diujung penis
Tujuan           :
Tidak terjadi infeksi saluran kemih
Intervensi      :
-       Lihat tanda-tanda infeksi
R/ untuk mengetahui tindakan yang harus dilakukan.
-       Konsul dengan tim medis tentang prosedur sirkumsisi
R/ sirkumsisi mencegah infeksi saluran kemih (UTI)


BAB III
PENUTUP


3.1        Kesimpulan
Pimosis adalah suatu keadaan dimana preposium tidak bisa ditarik bisa dikarenakan konginetal atau didapat. Tetapi biasanya kondisi tersebut bisa normal dengan ditambahnya produksi hormon dan pertumbuhan.
Pimosis dapat mengakibatkan gangguan berkemih baik nyeri atau balloning (masa diujung penis) perlu dilakukan sirkumsisi biasanya itu merupakan indikasi untuk mencegah infeksi karena terkumpulnya urine yang mengandung glukosa sebagai tempat terbaik bagi pertumbuhan bakteri.

3.2        Saran
Jika ada anak mengalami gejala seperti gejala pimosis untuk segera mendapat penanganan untuk mencegah terjadi infeksi saluran kemih (UTI)













DAFTAR PUSTAKA

http://www.phimosis.com/ (17 Februari 2010, 19.05)
National Hearth Lung and Blood Institute. 2008. ”phimosis”.
Maureen Okam, M.D. (Harvard Medical School) .1999. “Phimosis information”.